Sabtu, 02 Maret 2013

TEORI BELAJAR BEHAVIORISME


                                    TEORI BELAJAR BEHAVIORISME

           Studi secara sistematis tentang belajar relative baru. Sampai akhir abad 19, belajar masih   dianggap masalah dalam dunia keilmuan. Dengan manggunakan teknologi yang digunakan oleh ilmu fisika, para peneliti mencoba menghubungkan pengalaman untuk memahami bagaimana manusia dan hewan belajar.  Beberapa peneliti yang melakukan studi tentang belajar antara lain Ivan Pavlov, Edward Lee Throndike, Guthrie, Burrhus Frederic Skinner, dan Hull.

A. Ivan Pavlov
           Akhir 1800-an, Ivan Pavlov, ahli fisika Rusia, memelopori munculnya proses kondisioning responden (respondent conditioning) atau kondisioning klasik (classical conditioning), karena ini disebut kondisioning Ivan Pavlov. Dari penelitian bersama koleganya ini, Ivan Pavlov mendapatkan Nobel.
1.Teori Belajar Kondisioning Klasik (Classical Conditioning)
           Ivan Pavlov melakukan eksperimen terhadap anjing. Pavlov melihat selama ada perubahan dalam waktu dan rata-rata keluarnya air liur pada anjing (salivation). Pavlov mengamati, jika daging diletakkan dekat mulut anjing yang lapar, anjing akan mengeluarkan air liur. Hal ini terjadi karena daging telah menyebabkan rangsangan kepada anjing, sehingga secara otomatis ia mengeluarkan air liur. Walaupun tanpa latihan
atau dikondisikan sebelumnya, anjing pasti akan mengeluarkan air liur jika dihadapkan pada daging. Dalam percobaan ini, daging disebut dengan stimulus yang tidak terkondisikan (unconditioned stimulus). Dan karena saliva terjadi secara otomatis pada saat daging di dekat anjing tanpa latihan atau pengondision, maka keluarnya saliva pada anjing tersebut dinamakan sebagai respons yang tidak dikondisikan (unresponse conditioning ).
           Kalau daging dapat menimbulkan saliva pada anjing tanpa latihan atau pengalaman sebelumnya, maka stimulus yang lain seperti bel tidak dapat menghasilkan saliva. Karena stimulus tersebut tidak menghasilkan respons, maka stimulus (bel) tersebut disebut dengan stimulus netral (neutral stimulus).

            Menurut eksperimen Pavlov, jika stimulus netral (bel) dipasangkan dengan daging (unconditioning stimulus) dan dilakukan secara berulang-ulang, maka stimulus netral akan menjadi stimulus yang terkondisikan (conditioning stimulus) dan memiliki kekuatan  yang sama untuk mangarahkan respons anjing seperti ketika ia melihat daging. Oleh karena itu, bunyi bel sendiri akan dapat menyebabkan anjing mengeluarkan air liur (saliva). Proses ini dinamakan classical conditioning.
2. Hukum-Hukum Kondisional Klasik
           Dari hasil eksperimen dengan menggunakan anjing tersebut, Pavlov akhirnya menemukan beberapa hokum pengondisian, yaitu pemerolehan (acquisition), pemadaman (extinction), generalisi (generalization), diskriminasi (discrimination), dan kondisioning tandingan (Davidoff, 1998). Pemerolehan adalah membuat pasangan stimulus netral dengan stimulus tak bersyarat berulang-ulang hingga muncul respons bersyarat, atau yang disebut acquisition atau acquisition training (latihan untuk memperoleh sesuatu).
Para peneliti sering kali membuat stimulus netral bersamaan dengan stimulus bersyarat atau berbeda beberapa detik selisih waktu pemberiannya dan segera menghentikan secara serempak. Prosuder ini biasanya disebut dengan pengondisian secara serempak (simultaneous conditioning).. Prosedur ini akan menghasilkan respons bersyarat. Prosedur ini lebih sederhana dan efektif dalam melatih orang atau hewan. Kadang
peneliti juga menggunakan prosudur yang berbeda, yakni dengan menghentikan stimulus netral terlebih dahulu sebelum stimulus tak bersyarat, walaupun prosedur ini jarang digunakan dalam pengondisian. Memasangkan stimulus netral dengan stimulus tak bersyarat selama latihan memperoleh sesuatu akan berfungsi sebagai penguat atau reinforcement bagi respons bersyarat.
            Pemadaman (extinction). Setelah respons itu berbentuk, maka respons itu akan tetap ada selama masih diberikan rangsangan bersyaratnya dan dipasangkan dengan rangsangan tak bersyarat. Kalau rangsangan bersyarat diberikan untuk beberapa lama, maka respons bersyarat lalu tidak mempunyai penguat/ reinforcer dan besar kemungkinan respons bersyarat itu akan menurun jumlah pemunculannya dan akan semakin sering tak terlihat seperti penelitian sebelumnya. Peristiwa itulah yang disebut dengan pemadaman (extinction). Beberapa respons bersyarat akan hilang secara perlahan-lahan atau hilang sama sekali untuk selamanya.
            Dalam kehidupan nyata, mungkin kita pernah menjumpai realitas respons emosi bersyarat. Misalnya, ada dua orang anak kecil laki-laki dan perempuan yang biasa bermain bersama. Pada saat mereka menginjak dewasa, menjadi seorang gadis dan pemuda, tiba-tiba tumbuh perasaan cinta pada diri pemuda kepada gadis tersebut, tetapi tidak demikian dengan sang gadis. Pada saat pemuda teman sejak kecilnya itu menyatakan cintanya, gadis tersebut menolak dengan alasan perasaan kepada pemuda itu hanya sebatas teman. Namun, karena pemuda itu sangat mencintai sang gadis, dengan menggunakan berbagai cara yang dapat membahagiakan, ia berusaha untuk mengambil hati gadis itu agar menerima cintanya.Misalnya dengan selalu memberikan perhatian, memberikan segala yang disukai oleh gadis itu, dan lain sebagainya. Ketika perhatian dan kebaikannya kepada gadis tersebut dilakukan berulang-ulang, maka pada suatu saat hati sang gadis menjadi luluh dan akhirnya menerima cinta pemuda tersebut.
            Generalisasi dan diskriminasi.Ternyata respons bersyarat ini juga dapat di kenalkan pada kejadian lain,namun situasinya yang mirip.Inilah yang di kenal dengan generalisasi.Misalnya,pemuda yang mencinta seorang gadis,dan lain ia merasa bahagia jika bertemu dengan gadis tersebut.Pada saat ia mengetahui bahwa gadis yang di cintainya menyukai warna pink,maka ia akan merasa bahagia ketika menjumpai benda-benda apa saja yang berwarna pink.
            Bila suatu makhluk mengadakan generalisasi (menyamaratakan),maka ia juga dapat melakukan diskriminasi atau pembedaan.Diskriminasi yang dikondisikan ditimbulkan melalui penguatan dan pemadaman yang selektif.Dalam eksperimen Pavlov,2 nada yang berbeda di berikan kepada anjing terdiri dari stimulus diferensial (AD1) dan SD2, yang berfungsi sebagai stimulus pembeda.Salah satu atau satu dari keduanya digunakan pada setiap percobaan. Nada pertama (SD1) diikuti dengan shock elektris ringan, yang kedua (SD2) tidak. Pada mulanya subjek memberikan respons yang dikondisikan pada kedua nada. Namun, pada proses percobaan amplitude nada yang pertama semakin lama semakin menurun. Dengan demikian, melalui proses penguatan diferensial, subjek dikondisikan untuk membedakan kedua nada tersebut.
            Dalam kehidupan sehari-hari prilaku generalisasi dan diskriminasi ini dapat kita jumpai. Misalnya, anak kecil yang merasa takut pada anjing galak, tentu akan memberi respons rasa takut pada semua anjing. Tapi melalui penguatan dan pemadaman diferensial, rentang stimulus rasa takut menjadi menyempit hanya pada anjing yang galak saja.
            Kondisioning tandingan (counter conditioning). Kondisioning ini merupakan salah satu bentuk khusus dari kondisioning responden. Pada kondisioning jenis ini, respons bersyarat yang khusus akan digantikan dengan respons bersyarat lain yang baru dan bertentangan, tidak saling cocok (incompatible) dengan respons bersyarat yang sebelumnya. Misalnya, respons bersyarat berupa perasaan tidak suka digantikan dengan perasaan suka, takut dengan berani, benci dengan cinta, dan lain sebagainya. Sehingga reaksi tersebut dapat disebut dengan incompatible atau saling mengganti.
            Prosedur kondisioning tandingan ini sifatnya langsung, satu perangkat latihan yang baru terjadi pula. Satu rangsangan bersyarat yang dapat menimbulkan respons bersyarat yang ingin diubah, diperlakukan sebagai rangsangan netral.
 Ini kemudian diasosiasikan dengan rangsangan tak bersyarat yang dapat menimbulkan respons tak bersyarat secara bertentangan. Setelah dipasangkan berulang-ulang, rangsangan bersyarat itu mungkin akan hanya dapat memancing satu respons bersyarat baru yang berlawanan..Contoh, seorang anak kecil yang tidak mau dicukur rambutnya karena takut dengan suara alat cukur atau gunting. Untuk mengganti perasaan takut ketika dipotong, maka setiap dipotong rambutnya anak diberi gula-gula kesukaannya atau diputarkan film kartun kesayangannya. Sehingga ketika itu dilakukan terus-menerus akan muncul respons tidak takut dengan alat-alat cukur rambut.
3.   Penerapan prinsip-prinsip kondisioning klasik dalam kelas
            Berikut ini beberapa tips yang ditawarkan oleh Woolfolk (1995) dalam menggunakan prinsip-prinsip kondisioning klasik di kelas.
1.  Memberikan suasana yang menyenangkan ketika memberikan tugas-tugas belajar,   misalnya:
         a.   menekankan pada kerja sama dan kompetisi antarkelompok daripada individu, banyak siswa yang akan memiih respons emosional secara negatif terhadap kompetisi secara individual, yang mungkin akan digeneralisasikan dengan pelajaran-pelajaran yang lain;
         b.  membuat kegiatan membaca menjadi menyenangkan dengan menciptakan ruang membaca (reading korner) yang nyaman dan enak serta menarik, dan lain sebagainya.
2. Membantu siswa mengatasi secara bebas dan sukses situasi-situasi yang, mencemaskan
    atau menekan, misalnya:
      a.  mendorong siswa yang pemalu untuk mengajarkan siswa lain cara memahami materi pelajaran;
      b.  membuat tahap jangka pendek untuk mencapai tujuan jangka panjang, misalnya dengan memberikan tes harian, mingguan, agar siswa dapat menyimpan apa yang dipelajari dengan baik;
      c.  jika siswa takut berbicara di depan kelas, mintalah siswa untuk membacakan laporan di depan kelompok kecil sambil duduk di tempat, kemudian berikutnya dengan berdiri. Setelah dia terbiasa, kemudian mintalah ia untuk membaca laporan di depan seluruh murid di kelas.
3. Membantu siswa untuk mengenal perbedaan dan persamaan terhadap situasi-situasi sehingga mereka dapat membedakan dan menggeneralisasikan secara tepat. Misalnya, dengan:
a.       meyakinkan siswa yang cemas ketika menghadapi ujian masuk sebuah sekolah    yang lebih tinggi tingkatannya atau perguruan tinggi, bahwa tes tersebut sama dengan tes-tes prestasi akademik lain yang perna mereka lakukan;
b.      menjelaskan bahwa lebih baik menghindari hadiah yang berlebihan dari orang yang tidak dikenal, atau menghindar tetapi aman dan dapat menerima penghargaan dari orang dewasa ketika orang tua ada.








TEORI-TEORI BELAJAR
           Belajar dianggap sebagai proses perubahan prilaku sebab dari pengalaman dan latihan. Hilgard mengungkapkan : Learning is the process by wich an activity originates or changed through training procedurs (wether in the laboratory or in the naural environment) as distinguaished from changes by factors not atributable to training.
          Belajar bukanlah sekedar mengumpulkan pengetahuan. Belajar adalah proses mental yang terjadi dalam diri seseorang, sehingga menyebabkan munculnya perubahan prilaku. Aktivitas mental itu terjadi karena adanya interaksi individu lingkungan yang disadari.
          Proses belajar pada hakikatnya merupakan kegiatan mental yang tidak dapat dilihat. Artinya proses perubahan yang terjadi dalam diri seseorang yang belajar tidak dapat kita saksikan. Kita hanya mungkin dapat menyaksikan dari adanya gejala-gejala perubahan prilaku yang tampak. Banyak teori yang membahas tentang terjadinya perubahan tingkah laku. Namun demikian setiap teori itu berpangkal dari pandangan tentang hakekat manusia menurut pandangan Jonh Locke dan hakekat manusia menurut Leibuits.
          Menurut Jonh Locke, manusia itu merupakan organisme yang pasif. Dengan teori Tabularasa Nya, Locke menganggap bahwa manusia itu seperti kertas putih, hendak ditulis apa itu tergantung pada orang yang menulisnya. Dari pandangan yang mendasar tentang hakikat manusia itu, munculkan aliran belajar Behavioristik- Elementaristik. Berbeda dengan pandangan Locke, Leibnits menganggap bahwa manusia adalah organisme yang aktif. Manusia merupakan sumber dari pada semuaa kegiatan. Pada hakikatnya manusia bebas untuk berbuat, manusia bebas untuk membuat suatu pilihan dalam setiap situasi. Titik pusat kebebasan itu adalah kesadarannya sendiri. Menurut aliran ini tingkah laku manusia hanyalah ekspresi yang dapat diamati sebagai akibat dari eksistensi internal yang pada hakikatnya bersifat pribadi. Pandangan hakikat manusia menurut pandangan Leibnite ini kemudian melahirkan aliran belajar kognitif- holistik.
          Berangkat dari konsep manusia yang berbeda dalam menjelaskan terjadinya prilaku, kedua aliran teori belajar, yaitu aliran Behavioristik-Elementaristik dan aliran Kognitif wholistik, memiliki perbedaan pula. Perbedaan keduanya seperti dapat dilihat pada:

                      



  PERBEDAAN ALIRAN BEHAVIORISTIK & KOGNITIF
*Teori Belajar Behavioristik
  -Mementingkan pengaruh lingkungan
  -Mementingkan bagian-bagian
  -Mengutamakan peranan aksi
  -Hasil belajar terbentuk secara mekanis
  -Dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu
  -Mementingkan pembentukan kebiasaan
  -Memecahkan masalah dilakukan dengan cara “trial and error”
*Teori Belajar Kognitif
  -Mementingkan apa yang ada dalam diri
  -Mementingkan keseluruhan
  -Mengutamakan fungsi kognitif
  -Terjadi keseimbangan dalam diri
  -Tergantung pada kondisi saat ini
  -Mementingkan terbentuknya stuktur kognitif
  -Memecahkan masalah didasarkan kepada “insight”

           Menurut aliran Behavioristik, belajar pada hakikatnya adalah pembentukan asosiasi antara kesan yang ditangkap pancaindra dengan kecenderungan untuk bertindak atau hubungan antara stimulus dan respons. Oleh karena itulah teori ini juga dinamakan teori stimulus-respons. Belajar adalah upaya untuk membentuk hubungan stimulus dan respon sebanyak-banyaknya.



           Teori-teori belajar yang termasuk kedalam kelompok Behavioristik diantaranya:
a). Koneksionisme dengan tokohnya Thorndike                                                       
b). Classical Conditioning dengan tokohnya Pavlov
c). Operant Conditioning, yang dikembangkan oleh Skinner
d). Systematic Behavior, yang dikembangkan oleh Hull
e). Contigouos Conditioning, yang dikembangkan oleh Guthrie

 Teori Belajar Classical Conditioning  
          Seperti halnya Thorndike, Pavlov dan Watson yang menjadi tokoh teori ini juga percaya bahwa belajar pada hewan memiliki prinsip yang sama dengan manusia. Belajar atau pembentukan prilaku perlu dibantu dengan kondisi tertentu.
         Pavlov melakukan percobaan dengan seekor anjing. Dalam percobaannya Pavlov ingin membentuk prilaku tertentu pada anjing. Bentuk percobaannya adalah sebagai berikut: Dalam keadaan lapar sebelum diberikan makanan dibunyikan lonceng, diperlihatkan makanan dan air liur anjiang pun keluar. Keadaan itu terus-menerus diulang. Setelah beberapa kali dilakukan, ternyata pada akhirnya setiap lonceng berbunyi air liur anjing keluar, walaupun tanpa diberi makanan. Dalam keadaan ini, anjing belajar bahwa kalau lonceng berbunyi pasti ada makanan sehingga menyebabkan air liurnya keluar.
         Dari eksperimen ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk membentuk tingkah laku tertentu harus dilakukan secara berulang-ulang dengan melakukan pengkondisian tertentu. Pengkondisian itu adalah dengan melakukan semacampancingan dengan sesuatu yangf dapat menumbuhkan tingkah laku itu.
         Dalam keseharian, sebetulnya penerapan prinsip teori belajar ini sering kita dapatkan. Contohnya: Seorang ibu yang menginginkan anaknya rajin belajar dan berprestasi, ia mengatakan :”Kalau kamu nanti naik kelas, ibu berjanji akan membelikan kamu sepeda baru. Maka karena janji ibunya itu si anak menjadi rajin belajar. Sebenarnya rajinnya anak itu bukan hanya sekedar ingin pintar atau ingin naik kelas, akan tetapi karena ia menginginkan sepeda baru. Akhirnya lama-kelamaan kalau sudah menjadi kebiasaan, walaupun tanpa iming-iming sepeda baru, maka anak akan tetap belajar.     

2 komentar:

Lisa mengatakan...

Hello ka! thanks ya udah posting tentang teori ini :) Aku bersyukur bgt, cos aku juga mau ngambil tentang tingkah laku anjing. Bner2 isi blog kaka yang ini very helpful. :)

Unknown mengatakan...

sama sama cantik ;)