TEORI BELAJAR BEHAVIORISME
Studi secara
sistematis tentang belajar relative baru. Sampai akhir abad 19, belajar masih dianggap masalah dalam dunia keilmuan. Dengan
manggunakan teknologi yang digunakan oleh ilmu fisika, para peneliti mencoba menghubungkan
pengalaman untuk memahami bagaimana manusia dan hewan belajar. Beberapa peneliti yang melakukan studi tentang
belajar antara lain Ivan Pavlov, Edward Lee Throndike, Guthrie, Burrhus
Frederic Skinner, dan Hull.
A. Ivan Pavlov
Akhir 1800-an, Ivan
Pavlov, ahli fisika Rusia, memelopori munculnya proses kondisioning responden
(respondent conditioning) atau kondisioning klasik (classical conditioning),
karena ini disebut kondisioning Ivan Pavlov. Dari penelitian bersama koleganya
ini, Ivan Pavlov mendapatkan Nobel.
1.Teori Belajar Kondisioning Klasik (Classical Conditioning)
Ivan Pavlov
melakukan eksperimen terhadap anjing. Pavlov melihat selama ada perubahan dalam
waktu dan rata-rata keluarnya air liur pada anjing (salivation). Pavlov
mengamati, jika daging diletakkan dekat mulut anjing yang lapar, anjing akan
mengeluarkan air liur. Hal ini terjadi karena daging telah menyebabkan
rangsangan kepada anjing, sehingga secara otomatis ia mengeluarkan air liur. Walaupun
tanpa latihan
atau dikondisikan sebelumnya, anjing pasti akan mengeluarkan air
liur jika dihadapkan pada daging. Dalam percobaan ini, daging disebut dengan stimulus
yang tidak terkondisikan (unconditioned stimulus). Dan karena saliva terjadi
secara otomatis pada saat daging di dekat anjing tanpa latihan atau
pengondision, maka keluarnya saliva pada anjing tersebut dinamakan sebagai
respons yang tidak dikondisikan (unresponse conditioning ).
Kalau daging dapat
menimbulkan saliva pada anjing tanpa latihan atau pengalaman sebelumnya, maka
stimulus yang lain seperti bel tidak dapat menghasilkan saliva. Karena stimulus
tersebut tidak menghasilkan respons, maka stimulus (bel) tersebut disebut
dengan stimulus netral (neutral stimulus).
Menurut eksperimen
Pavlov, jika stimulus netral (bel) dipasangkan dengan daging (unconditioning
stimulus) dan dilakukan secara berulang-ulang, maka stimulus netral akan
menjadi stimulus yang terkondisikan (conditioning stimulus) dan memiliki
kekuatan yang sama untuk mangarahkan respons
anjing seperti ketika ia melihat daging. Oleh karena itu, bunyi bel sendiri
akan dapat menyebabkan anjing mengeluarkan air liur (saliva). Proses ini
dinamakan classical conditioning.
2. Hukum-Hukum Kondisional Klasik
Dari
hasil eksperimen dengan menggunakan anjing tersebut, Pavlov akhirnya menemukan
beberapa hokum pengondisian, yaitu pemerolehan (acquisition), pemadaman
(extinction), generalisi (generalization), diskriminasi (discrimination), dan
kondisioning tandingan (Davidoff, 1998). Pemerolehan adalah membuat pasangan
stimulus netral dengan stimulus tak bersyarat berulang-ulang hingga muncul respons
bersyarat, atau yang disebut acquisition atau acquisition training (latihan
untuk memperoleh sesuatu).
Para peneliti
sering kali membuat stimulus netral bersamaan dengan stimulus bersyarat atau
berbeda beberapa detik selisih waktu pemberiannya dan segera menghentikan secara
serempak. Prosuder ini biasanya disebut dengan pengondisian secara serempak
(simultaneous conditioning).. Prosedur ini akan menghasilkan respons bersyarat.
Prosedur ini lebih sederhana dan efektif dalam melatih orang atau hewan. Kadang
peneliti juga menggunakan prosudur yang berbeda, yakni dengan
menghentikan stimulus netral terlebih dahulu sebelum stimulus tak bersyarat, walaupun
prosedur ini jarang digunakan dalam pengondisian. Memasangkan stimulus netral
dengan stimulus tak bersyarat selama latihan memperoleh sesuatu akan berfungsi sebagai
penguat atau reinforcement bagi respons bersyarat.
Pemadaman
(extinction). Setelah respons itu berbentuk, maka respons itu akan tetap ada
selama masih diberikan rangsangan bersyaratnya dan dipasangkan dengan
rangsangan tak bersyarat. Kalau rangsangan bersyarat diberikan untuk beberapa
lama, maka respons bersyarat lalu tidak mempunyai penguat/ reinforcer dan besar
kemungkinan respons bersyarat itu akan menurun jumlah pemunculannya dan akan
semakin sering tak terlihat seperti penelitian sebelumnya. Peristiwa itulah
yang disebut dengan pemadaman (extinction). Beberapa respons bersyarat akan
hilang secara perlahan-lahan atau hilang sama sekali untuk selamanya.
Dalam kehidupan
nyata, mungkin kita pernah menjumpai realitas respons emosi bersyarat.
Misalnya, ada dua orang anak kecil laki-laki dan perempuan yang biasa bermain bersama.
Pada saat mereka menginjak dewasa, menjadi seorang gadis dan pemuda, tiba-tiba
tumbuh perasaan cinta pada diri pemuda kepada gadis tersebut, tetapi tidak
demikian dengan sang gadis. Pada saat pemuda teman sejak kecilnya itu
menyatakan cintanya, gadis tersebut menolak dengan alasan perasaan kepada
pemuda itu hanya sebatas teman. Namun, karena pemuda itu sangat mencintai sang
gadis, dengan menggunakan berbagai cara yang dapat membahagiakan, ia berusaha
untuk mengambil hati gadis itu agar menerima cintanya.Misalnya dengan selalu
memberikan perhatian, memberikan segala yang disukai oleh gadis itu, dan lain
sebagainya. Ketika perhatian dan kebaikannya kepada gadis tersebut dilakukan
berulang-ulang, maka pada suatu saat hati sang gadis menjadi luluh dan akhirnya
menerima cinta pemuda tersebut.
Generalisasi dan diskriminasi.Ternyata respons
bersyarat ini juga dapat di kenalkan pada kejadian lain,namun situasinya yang
mirip.Inilah yang di kenal dengan generalisasi.Misalnya,pemuda yang mencinta seorang
gadis,dan lain ia merasa bahagia jika bertemu dengan gadis tersebut.Pada saat
ia mengetahui bahwa gadis yang di cintainya menyukai warna pink,maka ia akan
merasa bahagia ketika menjumpai benda-benda apa saja yang berwarna pink.
Bila suatu makhluk mengadakan generalisasi
(menyamaratakan),maka ia juga dapat melakukan diskriminasi atau
pembedaan.Diskriminasi yang dikondisikan ditimbulkan melalui penguatan dan
pemadaman yang selektif.Dalam eksperimen Pavlov,2 nada yang berbeda di berikan
kepada anjing terdiri dari stimulus diferensial (AD1) dan SD2, yang berfungsi
sebagai stimulus pembeda.Salah satu atau satu dari keduanya digunakan pada
setiap percobaan. Nada pertama (SD1) diikuti dengan shock elektris ringan, yang
kedua (SD2) tidak. Pada mulanya subjek memberikan respons yang dikondisikan
pada kedua nada. Namun, pada proses percobaan amplitude nada yang pertama
semakin lama semakin menurun. Dengan demikian, melalui proses penguatan diferensial,
subjek dikondisikan untuk membedakan kedua nada tersebut.
Dalam kehidupan sehari-hari prilaku
generalisasi dan diskriminasi ini dapat kita jumpai. Misalnya, anak kecil yang
merasa takut pada anjing galak, tentu akan memberi respons rasa takut pada
semua anjing. Tapi melalui penguatan dan pemadaman diferensial, rentang
stimulus rasa takut menjadi menyempit hanya pada anjing yang galak saja.
Kondisioning tandingan (counter
conditioning). Kondisioning ini merupakan salah satu bentuk khusus dari
kondisioning responden. Pada kondisioning jenis ini, respons bersyarat yang
khusus akan digantikan dengan respons bersyarat lain yang baru dan
bertentangan, tidak saling cocok (incompatible) dengan respons bersyarat yang
sebelumnya. Misalnya, respons bersyarat berupa perasaan tidak suka digantikan
dengan perasaan suka, takut dengan berani, benci dengan cinta, dan lain
sebagainya. Sehingga reaksi tersebut dapat disebut dengan incompatible atau
saling mengganti.
Prosedur kondisioning tandingan ini
sifatnya langsung, satu perangkat latihan yang baru terjadi pula. Satu
rangsangan bersyarat yang dapat menimbulkan respons bersyarat yang ingin
diubah, diperlakukan sebagai rangsangan netral.
Ini kemudian diasosiasikan
dengan rangsangan tak bersyarat yang dapat menimbulkan respons tak bersyarat secara
bertentangan. Setelah dipasangkan berulang-ulang, rangsangan bersyarat itu
mungkin akan hanya dapat memancing satu respons bersyarat baru yang
berlawanan..Contoh, seorang anak kecil yang tidak mau dicukur rambutnya karena
takut dengan suara alat cukur atau gunting. Untuk mengganti perasaan takut
ketika dipotong, maka setiap dipotong rambutnya anak diberi gula-gula
kesukaannya atau diputarkan film kartun kesayangannya. Sehingga ketika itu
dilakukan terus-menerus akan muncul respons tidak takut dengan alat-alat cukur
rambut.
3. Penerapan prinsip-prinsip
kondisioning klasik dalam kelas
Berikut ini beberapa tips yang ditawarkan oleh
Woolfolk (1995) dalam menggunakan prinsip-prinsip kondisioning klasik di kelas.
1. Memberikan suasana yang menyenangkan ketika
memberikan tugas-tugas belajar, misalnya:
a.
menekankan pada kerja sama dan kompetisi
antarkelompok daripada individu, banyak siswa yang akan memiih respons
emosional secara negatif terhadap kompetisi secara individual, yang mungkin
akan digeneralisasikan dengan pelajaran-pelajaran yang lain;
b.
membuat kegiatan membaca menjadi menyenangkan dengan menciptakan ruang
membaca (reading korner) yang nyaman dan enak serta menarik, dan lain
sebagainya.
2. Membantu
siswa mengatasi secara bebas dan sukses situasi-situasi yang, mencemaskan
atau menekan, misalnya:
a.
mendorong siswa yang pemalu untuk mengajarkan siswa lain cara memahami materi
pelajaran;
b.
membuat tahap jangka pendek untuk mencapai tujuan jangka panjang,
misalnya dengan memberikan tes harian, mingguan, agar siswa dapat menyimpan apa
yang dipelajari dengan baik;
c.
jika siswa takut berbicara di depan kelas, mintalah siswa untuk
membacakan laporan di depan kelompok kecil sambil duduk di tempat, kemudian
berikutnya dengan berdiri. Setelah dia terbiasa, kemudian mintalah ia untuk
membaca laporan di depan seluruh murid di kelas.
3. Membantu siswa
untuk mengenal perbedaan dan persamaan terhadap situasi-situasi sehingga mereka
dapat membedakan dan menggeneralisasikan secara tepat. Misalnya, dengan:
a.
meyakinkan siswa yang cemas
ketika menghadapi ujian masuk sebuah sekolah
yang lebih tinggi tingkatannya
atau perguruan tinggi, bahwa tes tersebut sama dengan tes-tes prestasi akademik
lain yang perna mereka lakukan;
b.
menjelaskan bahwa lebih baik
menghindari hadiah yang berlebihan dari orang yang tidak dikenal, atau
menghindar tetapi aman dan dapat menerima penghargaan dari orang dewasa ketika
orang tua ada.
TEORI-TEORI BELAJAR
Belajar dianggap sebagai proses perubahan prilaku sebab dari
pengalaman dan latihan. Hilgard mengungkapkan : Learning is the process by wich
an activity originates or changed through training procedurs (wether in the
laboratory or in the naural environment) as distinguaished from changes by
factors not atributable to training.
Belajar bukanlah
sekedar mengumpulkan pengetahuan. Belajar adalah proses mental yang terjadi
dalam diri seseorang, sehingga menyebabkan munculnya perubahan prilaku.
Aktivitas mental itu terjadi karena adanya interaksi individu lingkungan yang
disadari.
Proses belajar pada
hakikatnya merupakan kegiatan mental yang tidak dapat dilihat. Artinya proses
perubahan yang terjadi dalam diri seseorang yang belajar tidak dapat kita
saksikan. Kita hanya mungkin dapat menyaksikan dari adanya gejala-gejala
perubahan prilaku yang tampak. Banyak teori yang membahas tentang terjadinya
perubahan tingkah laku. Namun demikian setiap teori itu berpangkal dari
pandangan tentang hakekat manusia menurut pandangan Jonh Locke dan hakekat
manusia menurut Leibuits.
Menurut Jonh Locke,
manusia itu merupakan organisme yang pasif. Dengan teori Tabularasa Nya, Locke
menganggap bahwa manusia itu seperti kertas putih, hendak ditulis apa itu
tergantung pada orang yang menulisnya. Dari pandangan yang mendasar tentang
hakikat manusia itu, munculkan aliran belajar Behavioristik- Elementaristik. Berbeda
dengan pandangan Locke, Leibnits menganggap bahwa manusia adalah organisme yang
aktif. Manusia merupakan sumber dari pada semuaa kegiatan. Pada hakikatnya
manusia bebas untuk berbuat, manusia bebas untuk membuat suatu pilihan dalam
setiap situasi. Titik pusat kebebasan itu adalah kesadarannya sendiri. Menurut
aliran ini tingkah laku manusia hanyalah ekspresi yang dapat diamati sebagai
akibat dari eksistensi internal yang pada hakikatnya bersifat pribadi. Pandangan
hakikat manusia menurut pandangan Leibnite ini kemudian melahirkan aliran
belajar kognitif- holistik.
Berangkat dari
konsep manusia yang berbeda dalam menjelaskan terjadinya prilaku, kedua aliran
teori belajar, yaitu aliran Behavioristik-Elementaristik dan aliran Kognitif
wholistik, memiliki perbedaan pula. Perbedaan keduanya seperti dapat dilihat
pada:
PERBEDAAN ALIRAN BEHAVIORISTIK
& KOGNITIF
*Teori Belajar Behavioristik
-Mementingkan pengaruh
lingkungan
-Mementingkan bagian-bagian
-Mengutamakan peranan aksi
-Hasil belajar terbentuk
secara mekanis
-Dipengaruhi oleh pengalaman
masa lalu
-Mementingkan pembentukan
kebiasaan
-Memecahkan masalah
dilakukan dengan cara “trial and error”
*Teori Belajar Kognitif
-Mementingkan apa yang ada
dalam diri
-Mementingkan keseluruhan
-Mengutamakan fungsi
kognitif
-Terjadi keseimbangan dalam
diri
-Tergantung pada kondisi
saat ini
-Mementingkan terbentuknya
stuktur kognitif
-Memecahkan masalah didasarkan
kepada “insight”
Menurut aliran Behavioristik,
belajar pada hakikatnya adalah pembentukan asosiasi antara kesan yang ditangkap
pancaindra dengan kecenderungan untuk bertindak atau hubungan antara stimulus dan
respons. Oleh karena itulah teori ini juga dinamakan teori stimulus-respons.
Belajar adalah upaya untuk membentuk hubungan stimulus dan respon
sebanyak-banyaknya.
Teori-teori
belajar yang termasuk kedalam kelompok Behavioristik diantaranya:
a). Koneksionisme dengan tokohnya Thorndike
b). Classical Conditioning dengan tokohnya Pavlov
c). Operant Conditioning, yang dikembangkan oleh Skinner
d). Systematic Behavior, yang dikembangkan oleh Hull
e). Contigouos Conditioning, yang dikembangkan oleh Guthrie
Teori Belajar Classical
Conditioning
Seperti halnya
Thorndike, Pavlov dan Watson yang menjadi tokoh teori ini juga percaya bahwa
belajar pada hewan memiliki prinsip yang sama dengan manusia. Belajar atau
pembentukan prilaku perlu dibantu dengan kondisi tertentu.
Pavlov melakukan
percobaan dengan seekor anjing. Dalam percobaannya Pavlov ingin membentuk
prilaku tertentu pada anjing. Bentuk percobaannya adalah sebagai berikut: Dalam
keadaan lapar sebelum diberikan makanan dibunyikan lonceng, diperlihatkan
makanan dan air liur anjiang pun keluar. Keadaan itu terus-menerus diulang. Setelah
beberapa kali dilakukan, ternyata pada akhirnya setiap lonceng berbunyi air
liur anjing keluar, walaupun tanpa diberi makanan. Dalam keadaan ini, anjing
belajar bahwa kalau lonceng berbunyi pasti ada makanan sehingga menyebabkan air
liurnya keluar.
Dari eksperimen ini,
dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk membentuk tingkah laku tertentu harus
dilakukan secara berulang-ulang dengan melakukan pengkondisian tertentu.
Pengkondisian itu adalah dengan melakukan semacampancingan dengan sesuatu yangf
dapat menumbuhkan tingkah laku itu.
Dalam keseharian,
sebetulnya penerapan prinsip teori belajar ini sering kita dapatkan. Contohnya:
Seorang ibu yang menginginkan anaknya rajin belajar dan berprestasi, ia
mengatakan :”Kalau kamu nanti naik kelas, ibu berjanji akan membelikan kamu
sepeda baru. Maka karena janji ibunya itu si anak menjadi rajin belajar.
Sebenarnya rajinnya anak itu bukan hanya sekedar ingin pintar atau ingin naik
kelas, akan tetapi karena ia menginginkan sepeda baru. Akhirnya lama-kelamaan
kalau sudah menjadi kebiasaan, walaupun tanpa iming-iming sepeda baru, maka
anak akan tetap belajar.
2 komentar:
Hello ka! thanks ya udah posting tentang teori ini :) Aku bersyukur bgt, cos aku juga mau ngambil tentang tingkah laku anjing. Bner2 isi blog kaka yang ini very helpful. :)
sama sama cantik ;)
Posting Komentar